Finding yourself through losing it (FYTLI) part 2

First day revelation

Waktu saya ngobrol dengan Tuhan dalam perjalanan ke RS, saya terus bertanya2 dan akhirnya saya menemukan bahwa sebetulnya saat ini saya sedang menghidupi kehidupan yang saya inginkan…. (dan menulis membuat saya bisa lebih jujur dan melihat lebih jelas akan isi hati saya)

Saya tidak ingin menjadi seorang dokter yang praktek terus menerus siang dan malam. Tapi saya ingin punya waktu untuk keluarga, untuk melakukan hobi saya dan kalau bisa berprestasi juga dalam hobi tersebut

Agak disesalkan juga mengapa saya tidak mengetahui ini sejak dulu. Karena saya bersekolah di sekolah yang sangat mengutamakan akademis, lomba, seperti: matematika, fisika, kimia dll, dan bukannya mengencourage murid2nya untuk mencari “bakat unik” yang tersimpan dalam dirinya… saya pun menjadi seseorang yang punya pola pikir serupa

Sejenis “yah tau gitu mah aku…..”

Puji Tuhan saat ini sudah banyak sekolah yang mengakui “kecerdasan” tidak hanya melulu bicara soal akademis, tapi banyak bidang lain: misalnya kecerdasan musik, kecerdasan tentang alam, dlsb

Kalau dipikir2 sekarang, dengan pekerjaan saya di rsud yang fleksibel, bisa 25 jam seminggu, dengan pembayaran yang cukup baik, terlebih di masa sulit karena pandemi covid-19, sesungguhnya saya patut bersyukur dan bukannya iri hati atau merasa insecure ketika membandingkan diri saya dengan teman2 saya yang bekerja di RS swasta yang lebih bergengsi. Tidak hanya itu, karena jam kerja yang tidak terlalu padat, saya masih punya tenaga dan semangat ketika pulang ke rumah, dan bisa menstimulasi anak saya dengan bermain. Kebetulan anak saya masih berusia 3 bulan ketika saya menulis ini, dan periode 1000 hari pertama sudah diketahui merupakan periode terpenting dalam kehidupan seorang anak, dalam masalah nutrisi, maupun stimulasi asah, dan penanaman nilai2 kehidupan yang akan berguna untuk si anak di kemudian hari. Apalagi saya sendiri adalah seorang dokter spesialis anak… ya jangan sampai saya mengurusi anak orang lain, tetapi anak saya sendiri terlantar bukan?

Ya masa aku mau ditelantarin maaa 😅

Lantas, apa yang menjadi kegalauan saya saat ini? Kegalauan saya muncul ketika saya melihat teman2 saya, yang kerja di RS yang nampak lebih bergengsi daripada RSUD, atau teman2 yang memiliki hobi influencer (dan betul2 mengerjakannya) sembari kerja di RS atau mengurus anak…
Karena mimpi saya adalah seperti yang saya sebut tadi, saya ingin menjadi seorang dokter yang bekerja, tetapi juga punya waktu untuk mengerjakan hobi/panggilan lain (yang saya sungguh sadari itu ada; ada orang yang seluruh passionnya adalah di pekerjaannya, dan hal itu sangat baik. Tapi itu bukan saya, dan saya tahu there is something more)
Sembari saya doa dalam hati: Tuhan bakat/karunia apa yang Engkau taruh di dalamku yang belum aku sentuh/kembangkan?

Jadi pertama yang harus dilakukan saat menghadap Tuhan adalah:
Know your position

Ceritanya lagi merenung…

Contohnya spt saya: saya tahu yang menjadi sumber kegalauan saya adalah “hobi/bakat/minat/passion” yang belum tergali dan terasah dalam diri saya

Dan dengan mata tertuju kepadaNya mari dengan jujur bertanya: hal apa yang masih harus aku kembangkan?

Kemudian Tuhan menunjukkan kepada saya lewat contoh teman2 saya. Ada yang sering membuat video edukasi di media sosial instagram, tapi penontonnya kadang hanya sedikit, mgkn di bawah 10 saja saat dia membuat IG LIVE. Sekali, dua kali, tiga kali… tetap viewersny tidak sampai lebih dari 2 digit. Lantas, apakah itu membuatnya berhenti berkreasi konten? NOPE, tidak. Dia tetap membuat IG live padahal kalau dipikir2 bisa saja dia menganggap acaranya kurang menarik, atau tidak ada peminat. Mengapa? Karena saya tahu, teman saya ini suka sekali “ngomong” atau dalam bahasa gaulnya “banci tampil”. Apakah dia seorang yang approval addict? Tidak, dia melakukan hal tersebut, murni karena dia menikmatinya, dan syukur2 ada orang lain yang terberkati dengan hal tersebut. Kalau tidak ada pun itu tidak membuatnya jadi “mempertanyakan dirinya sendiri”

Atau contoh lain, saya punya suami yang sangat hobi menulis. Menulis dalam artian membuat penelitian dan memublikasikan di jurnal ilmiah. Beliau bisa duduk berjam-jam di depan komputer, membaca berbagai jurnal, atau berkutat dengan baris demi baris microsoft word, dan merasakan kepuasan ketika dia berhasil membuat tulisan/artikel yang bermanfaat dan disitasi oleh banyak penulis lain. Saya? Tentu saja tidak. It’s just not my cup of tea…

Lalu Tuhan kembali menunjukkan bahwa sedari dulu, hal yang saya bisa lakukan “tanpa disuruh” dan “dengan senang hati” tanpa beban adalah menulis. Loh katanya tidak suka menulis? Memang menulis jurnal ilmiah bukan passion saya, tetapi menulis artikel populer saya suka.

Kok bisa bilangnya suka tetapi tidak pernah punya artikel populer yang masuk publikasi di koran? Atau di majalah? Karena yang saya coba buat saat itu adalah artikel populer kedokteran… sejujurnya saat itu dibuat pun saya merasa agak “maksa”, jadi hasilnya mungkin tidak maksimal…

Kembali dibukakan hal yang lebih spesifik, “kalau begitu saya sukanya nulis apa dong? “ begitu ujar saya dalam hati. Ketika saya mengingat2 kembali dan membuka kembali buku catatan online saya (ya, saya orangnya non paper based, sederhana saja karena saya bukan orang yang rapi, sehingga catatan saya seringnya tidak terbawa atau hilang sesaat di saat2 yang krusial yaitu ketika ide/wangsit itu muncul. Lain halnya dengan catatan online yang bisa diakses dimana saja dan kapan saja, dan lewat ponsel pintar pun bisa) maka saya mendapati bahwa saya tertarik dan “enjoy” menulis hal2 yang sifatnya self-help/ psikologi…

Terbukti saya juga pernah membuat blog yang isinya hal2 demikian (yaitu blog ini, tapi sayangnya blog ini sudah lama tidak tersentuh,☹️ tapi jika saya diminta untuk menulis sesuatu di blog walaupun tidak ada pembacanya, tampaknya saya hepi2 saja😆)

Saya suka menulis hal2 yang sifatnya self help karena dengan menulis saya sendiri terbantu untuk memetakan pikiran saya dan membuat saya berpikir lebih jernih. Kadang ketika saya merasa begitu “penuh”, menulis dapat membuat saya merasa lebih tenang dan melihat suatu masalah dengan lebih jelas. Saya jadi bisa memisahkan mana yang sebab, mana yang akibat (yang duaduanya sebenarnya bisa menjadi sumber kegalauan), sehingga saya menjadi lebih tepat dalam “addressing the problem

Lanjut lagi, bicara tentang punya anak bayi dan menghubungkannya dengan “kehidupan macam apa yang saya inginkan?” Itu bagi saya berarti: waktu yang di momen lain fase kehidupan saya dapat saya gunakan untuk “hobi”, skrg saya gunakan untuk mencari sebanyak mungkin informasi tentang parenting dan menerapkannya sebisa mungkin kepada anak saya.

Dan bicara tentang implementasi “finding yourself through losing it” maka hal itu berarti untuk saat ini fokus saya adalah: menjadi ibu yang terbaik bagi anak saya, dan istri yang terbaik bagi suami saya.

Aku mirip siapa hayooo? Mama atau papa??? (Gausa dijawab, nanti mamanya sedih 🥴)

Hal ini tidak berarti saya ingin menjadi sempurna dalam segala hal, sama sekali tidak, tetapi dalam artian, menerapkan semua prinsip Firman Tuhan dan filosofi hidup yang telah saya ketahui dalam peran saya sebagai istri dan ibu di keluarga.

Namun kembali muncul pertanyaan dalam diri saya: apakah betul bahwa saya menjalani kehidupan yang Allah inginkan? Karena dari tadi saya bicara, fokusnya “saya”.

Kemudian Tuhan mengingatkan saya bahwa Dialah yang menempatkan “kerinduan” “passion” “bakat” di dalam hati saya untuk tujuanNya.

Saya tidak perlu merasa sempurna untuk mulai melangkah (dan bukankah ini adalah hal yang sangat patut disyukuri?) karena kalau demikian ya kita tidak akan pernah maju

“He who watches the wind [waiting for all conditions to be perfect] will not sow [seed], and he who looks at the clouds will not reap [a harvest].”
‭‭Ecclesiastes‬ ‭11:4‬ ‭AMP‬‬

Kalaupun dalam perjalanan saya ada yang salah, Tuhan yang akan menuntun saya kembali ke jalanNya (Amin)

Jikalau ada yang lain di pikiranmu tentang salah satu hal, hal itu akan dinyatakan Allah juga kepadamu. Fil 3:15

Betapa melegakan ya?

Untuk merangkum bab ini, langkah konkret yang perlu dilakukan adalah:

  1. Mencari Tuhan dengan rendah hati (tau siapa diri kita di hadapanNya)
  2. Mengetahui siapa diri kita di hadapanNya (jujur terhadap diri sendiri)
  3. Mengakui jika ada hal yang belum tepat kita lakukan
  4. Menentukan akar masalahnya (misalnya insecurity, pola pikir yang salah)
  5. Menyelaraskan dengan FirmanNya (poin ketiga)
  6. Mulai tindakan dari hal/orang yang terdekat dengan kita
  7. Jangan takut salah dan terus berjalan bersamaNya

Semoga celotehan kecil nan panjang ini tidak membuat bosan dan memberkati 🥳

Leave a comment